Pagi itu, dengan mata yang masih
belum sepenuhnya melek, dengan pikiran yang setengahnya masih ada di alam
mimpi, kami tiba di agen travel itu. Letaknya di deretan pertokoan,
kecil, seperti tempat agen-agen travel pada umumnya. Pintunya terbuat dari
kaca, interiornya berkesan modern dan berpendingin ruangan. Kami bertiga pun
turun dari mobil. Si bule Jerman menurunkan backpack-nya dengan masih
mengomel-ngomel, saya dan Galuh memandangnya dengan maklum. Dia akan menuju ke
Penang sedangkan kami menuju ke Kuala Lumpur, jadi ternyata bis kami berbeda
dan dia tidak ikut masuk ke dalam.
Setibanya di dalam, kami disambut
oleh seorang resepsionis. Ibu-ibu yang kira-kira berusia setengah abad,
berbadan gemuk, rambut berombak, dan masih mengenakan pakaian yang berkesan
santai–kaos. Awalnya pembicaraan kami masih terkontrol, dan sampai suatu ketika
ia mengatakan sesuatu yang mengejutkan dan lambat untuk dapat saya cerna karena
masih pagi.
“You should pay RM 50 to enter
Malaysia.”
Hah? Kok? Perasaan saya tidak
pernah dengar tentang pembayaran biaya jika melakukan cross border Thailand –
Malaysia. Awalnya saya kira pembayaran itu dilakukan di imigrasi nanti semacam
visa on arrival, tapi ternyata setelah saya tanya, pembayaran itu dilakukan di
situ, di agen travel tersebut. Lah aneh banget, kalo memang itu prosedur negara,
kenapa pas saya minta peraturan dalam bentuk tertulisnya dia tidak punya? Dari
situlah kami mulai curiga. Dan kecurigaan saya bertambah ketika nominal
tersebut dapat ditawar! Dikira dagangan?! Sekali lagi, kalo memang itu prosedur
resmi kenapa juga bisa ditawar? Gini deh, mana bisa airport tax penerbangan
dalam negeri di Soekarno Hatta yang aslinya Rp40.000 ditawar jadi Rp20.000?
Lama kami berdebat, skak mat pun
dijatuhkan olehnya, pay or you won’t go back to KL. Dan yang bikin kesel lagi
dia mendesak kami, “hurry up the car is waiting, if you don’t pay they will
leave you!” Sebelumnya kami sudah mencoba menelefon Nana dan orangtua kami,
tapi telefon tidak diangkat, masih pagi juga. Akhirnya, entah terhipnotis atau
bagaimana, kami pun membayar juga uang tersebut, dengan sangat tidak ikhlas.
Uang kami kan pas pasan, tega banget pake diambil RM 50. Lumayan itu buat
ongkos bis dan makan.
Urusan dengan si resepsionis itu
pun berakhir. Kami keluar dan diantar ke mobil travelnya. Sudah penuh, memang
sepertinya mereka menunggu kami. Mobil tersebut berisi dua perempuan Thai yang
sedang berdandan–mereka bikin kami kesel karena kondisi kami yang baru saja
kehilangan uang dengan sia-sia lah dia kok malah asik dandan, perempuan Thai
berkerudung–awalnya kami kira dia Melayu tapi ternyata ga bisa bahasa,
laki-laki Thai–dialah yang jadi korban omelan kaki tentang resepsionis di agen
travel tadi karena dia mengerti sedikit bahasa.
Sepanjang jalan Galuh mengomel
dengan bahasa Melayu yang dia spontan ngomong–sumpah yang ini kocak banget.
Sampai kami tiba di sebuah restoran untuk sarapan, tidak nafsu makan kami pun
tidak makan. Ternyata di sana ketemu bule Jerman tadi, kami pun senang dan
langsung curhat ke dia. Sekarang dia sudah tenang dari marah-marahnya tadi pagi
dan gantian kami yang mengomel-ngomel. Kami merasa sudah sangat dekat, mungkin
karena asal dan tujuan kami sama, dan nasib buruk yang sama. Guess what?
Setelah dari restoran, kami dibawa lagi ke sebuah agen travel. Oh Lord, kali
ini kami menyesal karena males ke terminal di Bangkok nyari PO bis yang bener,
kami menyesal kenapa asal nerima aja dari Nana, kami mana ada liat nama PO bis
yang dikasih Nana?
Agen travel di sana terletak di
kawasan perdagangan, terlihat seperti kawasan kota lama. Interiornya pun
sederhana, mengingatkan saya kepada film-film China zaman dahulu. Jauh dari
kesan modern. Nama dan tujuan kami dicatat dan kami pun menunggu. Lama. Duduk
sambil melihat orang yang berseliweran kerja di sana. Ada seorang bapak,
mungkin pemilik agen travel tersebut. Anak perempuannya yang cantik, mungkin
seusia SD, berlari kepadanya dengan membawa buku gambarnya, minta mewarnai
bersama mungkin. Ia masih mengenakan seragam sekolah, memang siang itu sekitar
pukul 12 siang dan itu waktunya pulang sekolah. Secara tidak sadar saya dan
Galuh menonton adegan itu, saking ga ada kerjaannya.
Lalu kami keluar mencari angin,
ternyata lagi, ada bule Jerman tadi. Kali ini ia bersama temannya sesama bule,
lelaki berusia paruh baya. Dengan antusias dia bertanya mengenai kabar kami.
Kami menjawab apa adanya dan ia bercerita mengenai kasus kami kepada temannya
tadi.
“I don’t think we should pay some
ringgit to do cross border. Oh… I know, fifteen ringgit is so much,” ujarnya dengan prihatin.
“Not fifteen, but fifty…” sanggah
saya dengan lirih.
“Huh? Fifty?!” ia pun terkesiap.
Mungkin ditambah ingatannya tadi pagi mengenai backpack-nya, emosinya sedikit
tersulut.
Mereka pun menenangkan kami, dan
tidak lama kemudian bis pun datang. Ketika kami naik ke dalam bis, pikiran kami
sedikit lebih tenang karena kondisi bis yang memuaskan. Kursinya dapat
direntangkan hampir jadi 180o sehingga nyaman untuk tidur,
pelayanannya pun profesional. Dan yang paling membuat lega adalah…itu
merupakan langkah kami untuk ke KL, it means: meninggalkan kota ini!
Sepanjang perjalanan saya tidur.
Sesekali membuka mata dan melihat papan reklame di luar jendela. Kembali kecewa
karena huruf yang tercetak di papan reklame tersebut masih huruf Thai. Saya
ingin cepat sampai di Hat Yai, titik imigrasi, gerbang menuju Malaysia. Saya
pun kembali tidur, dan kembali bangun dengan senang ketika tiba di titik
imigrasi. Dengan semangat kami turun dari bis dan mengantri, dan lagi-lagi di
sebelah antrian kami ada si bule Jerman. Dengan melambai-lambaikan tangan ia
berkata, “Wow we meet again! Bye, I’ll go to Penang. Take care in Kuala
Lumpur!”
Selesai dari pengecekan imigrasi,
kami menuju bis. Lega rasanya sudah melihat tulisan berbahasa Melayu lagi,
tulisan selamat datang di Malaysia, aah. Bis pun berjalan, melewati jalanan
lintas batas negara yang lengang. Hanya dibatasi titik imigrasi tetapi kondisi
infrastruktur jalannya jauh berbeda, lebih baik Malaysia. Saya dapati sinyal di
simcard Malaysia saya lalu menghubungi orang rumah untuk memberi kabar. Awalnya
banyak yang ingin saya ceritakan ke orangtua saya mengenai penipuan pagi buta
itu, tapi saya hanya berkata, “baik-baik aja kok Pa, ini udah di dalam bis
menuju KL, bisnya bis malam bagus, kursinya lebaaar bisa jadi tempat tidur.”
Tidak ingin membuat mereka khawatir dan…mencoba mengikhlaskan kejadian itu.
May God forgive the travel receptionist in Surathani. And for her, please use that money appropriately, maybe to pay your child's school fee or feed your family ;)
0 comments:
Post a Comment