Nothing Deserves To Be Blamed, But...

Kata Albert Eistein dalam teori relativitasnya yang sangat terkenal dengan rumus E=mc2-nya, "Sesuatu yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian." Setuju...

Pada dasarnya, baik, buruk, itu tidak ada—bilang itu relatif. Semuanya tergantung dari cara pandang orang. Contoh sederhananya, ketika kita melihat segerombol anak muda yang tertawa cekikikan di pinggir jalan, kita menganggapnya tidak etik. Now, let's try to put ourself in their shoe, feel it how to be in their position...laugh out loud with our friends at some embarrassing moment we've done that time and simply forget our problem. Is that wrong? Just because we laugh on the street or public place so people judge it as a bad manner?
Saya pernah mengalaminya, baik pada posisi anak muda yang tertawa cekikikan maupun si pen-judge tersebut. Saat itu saya sedang bersama orangtua menuju ke suatu tempat, lewatlah kami di depan sebuah sekolah dan kebetulan saat itu adalah jam pulang sekolah, sehingga banyak siswa/i-nya yang sedang menunggu angkot.
"Ya ampun ini anak-anak keketawaan aja di pinggir jalan, ada angkot di depan bukannya dinaikin cepet-cepet pulang. Gini ini ngapain sih Ya anak-anak tuh?" Ujar Ibu saya.
"Hmmm ga tau, Ma..." Jawab saya malas.
Suatu saat saya berada di posisi mereka. Ya, tertawa bersama teman-teman di pinggir jalan di depan SMP saya. Setelah teman saya melakukan suatu hal yang bodoh, yang menurut kami hal itu deserve to be laughed at, kami tertawa puas. Rasanya? Senang sekali, seperti lupa begitu saja masalah yang kita punya. Sedikit pun tidak terbesit pikiran bahwa hal itu tidak etik, tidak sopan, melanggar aturan agama bahwa perempuan tidak boleh tertawa seperti itu, atau aturan dan norma-norma lainnya.

Sejak itu, saat saya melihat pemandangan seperti itu lagi—anak muda tertawa cekikikan bersama teman-temannya di pinggir jalan—saya jadi berpikir bahwa mungkin itu adalah cara menikmati hidup. Sedikit melanggar batas aturan. Seperti di salah satu episode Spongebob SquarePants tentang menikmati hidup cara Larry, Larry si lobster sangat tahu bagaimana menikmati hidup dengan teknik cross the line. Tapi sayangnya dua bersahabat Spongebob dan Patric tidak tahu batas wajar melanggar aturan tersebut.

Contoh lain yang lebih ekstrem: koruptor. Kalian pikir mereka merasa bersalah ngga sih? Kalo iya, terus kenapa tetep aja begitu? Pendapat saya, kalo memang mereka merasa bersalah tapi tetap melakukan hal itu, pasti ada suatu hal yang membuat mereka terus melakukan hal itu. Mungkin secercah kesenangan, atau mungkin malah tidak merasa merugikan siapa-siapa sama sekali? Menurut kita salah, belum tentu menurut dia.

Sekarang apa yang membuat ada persepsi 'salah' dan 'benar'? Norma. Kita hidup berdasarkan norma yang berlaku kan? Dan kalo dua hal di atas diaplikasikan ke norma yang berlaku, hal pertama mungkin sala di norma adat dan norma agama, hal kedua salah di norma hukum dan norma agama. Norma-norma itulah yang me-mind-set kita untuk mengecap suatu hal buruk atau tidak. Gampangnya sih, menentukan baik-buruknya suatu hal berdasarkan 'apakah hal itu bemanfaat?' atau 'merugikan orang lain atau tidak?' Tentukan sendiri, mau jadi orang yang memiliki ego tinggi, tidak memikirkan efek yang akan ditimbulkan bagi kita dan sekitar, atau tidak?

Pada akhirnya, nothing deserves to be blamed, but we should look into the norms. Point of view orang beda-beda...dan itu hak mereka untuk melakukan apa yang mereka mau—terlepas dari norma-norma yang ada. Oke kalo hal yang mereka lakukan salah jika dipandang dari norma agama, adat, hukum, dll. Toh kalo emang hal yang mereka lakukan adalah dosa, mereka sendiri yang nanggung akibatnya. Kita cuma berhak mengingatkan, keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan hal tersebut ada di tangan mereka.

Regards,
Aya

0 comments:

Post a Comment