Menambah Ruas Jalan ≠ Solusi Kemacetan

Saat ini, kemacetan tidak hanya melanda kota megapolitan berpenduduk jutaan jiwa seperti Jakarta saja. Penduduk di kota kecil pun tampaknya sudah mulai terbiasa dengan permasalahan kota yang satu ini. Banyak media yang membahasnya, dan mempertanyakan solusi kepada masyarakat. Menurut pengamatan saya terhadap jawaban masyarakat, mereka lebih prefer dengan solusi 'penambahan ruas jalan' dibanding 'penggunaan transportasi massal'. Miris. Berangkat dari persepsi itu, saya ingin meluruskan pendapat bahwa menambah ruas jalan itu bukan merupakan solusi dari kemacetan.

Salah satu contoh jawaban

The Therory, Based on Highway Capacity Manual (1997)
Kemacetan adalah kondisi saat volume kendaraan melebihi kapasitas ruas jalan, secara ilmiah dapat diidentifikasi dengan rumus LoS = V/C. LoS adalah level of service atau tingkat pelayanan jalan, skalanya dari A sampai F. V adalah volume kendaraan yang melalui ruas jalan tersebut dengan satuan mobil penumpang per satuan waktu. Sedangkan C adalah kapasitas ruas jalan, berapa banyak jumlah kendaraan yang mampu ditampung oleh jalan. Dengan rumus itu dapat kita ketahui bahwa semakin besar volume kendaraan dibanding kapasitas, tingkat pelayanan akan menurun a.k.a terjadi kemacetan. Maka tidaklah salah bahwa salah satu solusi kemacetan adalah menambah kapasitas jalan a.k.a menambah ruas jalan. 

Terus, apa yang salah?
Menambah ruas jalan itu seperti lingkaran setan, atau menyimpan debu di balik karpet, atau apalah itu. Intinya menambah ruas jalan itu seperti mengatasi masalah dengan membuat masalah baru. Logikanya, kebutuhan manusia pasti bertambah, namun kita tidak dapat serta merta menurutinya terus kan? Seorang perempuan ingin belanja make up, namun dia tidak harus menuruti nafsunya itu. Seorang anak kecil menginginkan es krim, namun orangtuanya tidak harus membelikannya. Pasti ada solusi lain untuk mengatasi keinginan tersebut, yang lebih bijak tentunya. Namanya manusia, kalo menuruti nafsu kapan habisnya sih? Sama seperti jalan. Setiap orang memiliki mobil pribadi, demand akan penambahan ruas jalan pun naik. Namun, pemerintah tidak selalu harus men-supply jalan bukan? Balik lagi ke konsep manusia tadi, keinginan manusia itu tidak ada habisnya. Iya kalo udah punya mobil satu ga pengen lagi, nah kalo malah beberapa tahun lagi trennya adalah 'satu penduduk tiga mobil'? Nah loh. Tambahin aja terus tuh jalan!


Who wants to live in those cities?


Solusinya Apa Dong?
Balik ke rumus LoS tadi, untuk menaikan tingkat pelayanan jalan, selain dengan memperbesar kapasitas jalan, mengapa tidak dilakukan penurunan volume kendaraan? Masih banyak kok solusi selain sekedar jalan pintas 'menambah kapasitas jalan'. Jika para pembuat kebijakan kreatif, mungkin dapat dilakukan disinsentif dan insentif yang mendorong pengurangan volume kendaraan. Misalnya insentif untuk rumah tangga yang tidak memiliki kendaraan pribadi, atau disinsentif bagi rumah tangga yang memiliki kendaraan pribadi lebih dari satu. Inti dari pengurangan volume kendaraan pribadi adalah 'bagaimana caranya memindahkan seluruh penumpang mobil pribadi ke dalam angkutan umum?'

Best Practice: Cheonggyecheon, South Korea
Lee Myun Bak, walikota Seoul, yang mengawali perubahan ini. Jalan layang diruntuhkan dan dilaksanakanlah program urban renewal senilai US$384 Juta ini. Hayo, pilih tinggal di kota seperti gambar before atau after?

Before

After

Sekarang ngerti kan kenapa penambahan kapasitas jalan seharusnya ga boleh terus dilakukan? :)

Visit Banyumas 2012

Hola. Liburan kemarin mungkin liburan saya yang paling produktif. Yap, liburan kemarin saya pakai buat kerja, kerja saya yang pertama! Hehe. Saya ikut proyeknya dosen saya, proyeknya sendiri adalah penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan Ajibarang 2012-2032. Sebenarnya proyeknya ada dua kecamatan, Kecamatan Ajibarang dan Kecamatan Banyumas, tapi saya pegang yang Kecamatan Ajibarang saja.

Kedua kecamatan tersebut terletak di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Mereka memiliki karakter yang berbeda, Ajibarang adalah kawasan industri genteng yang cenderung 'keras', dan Banyumas yang sekarang sedang mengembalikan image jadulnya adalah kawasan yang memiliki banyak peninggalan bangunan kuno dan cenderung 'kalem'. Sekitar satu atau dua bulan yang lalu kami pun berangkat survei. Lagi-lagi, kebiasaan pada waktu survei adalah nyolong-nyolong hunting foto. Jadi foto-foto di bawah bisa sekaligus buat promosi wisata Banyumas mungkin? ;P


  • Banyumas


 Nah ini salah satu bangunan kunonya. Tidak hanya satu, di sekitar bangunan ini juga terdapat banyak bangunan sejenis. Banyumas sendiri sedang membangun image kota nostalgia setelah ia 'mati' dan 'dilupakan' beberapa tahun semenjak ibukota Kabupaten Banyumas dialihkan ke Purwokerto.

Sungai ini namanya Sungai Serayu. Sungai yang merupakan batas utara Kecamatan Banyumas ini juga merupakan salah satu landmark dari Kecamatan Banyumas. Saya juga mendengar adanya rencana pengembangan pariwisata berbasis sungai, namanya Serayu River Voyage. Tapi...sayang juga kalo setelah dikembangin malah ngerusak sungai yang sudah indah secara alami ini.

Perumahan baru di tengah sawah. Tagline-nya sih intinya ngajak kembali ke kota nostalgia, tapi kenapa malah bangun bangunan modern begini? Zzzz.

Tidak hanya hunian saja, kantor kecamatan dan mesjid juga merupakan bangunan kuno. Foto di atas adalah Masjid Nur Sulaiman. Katanya sih arsitekturnya khas Kerajaan Islam Jawa.

 
Ciri lain dari arsitektur Kerajaan Islam Jawa adalah denahnya berbentuk bujur sangkar. And look at the ceiling, pattern of ventilation and pattern of the floor! Who don't sure if this is very the Javanese architecture?

Terdapat 12 pilar pendukung (saka pangarak) di masjid ini. Hal ini juga merupakan ciri arsitektur Kerajaan Islam Jawa.

 Nah hari terakhir di Banyumas kami melaksanakan forum group discussion (FGD) dengan warga setempat dan para tokoh untuk tukar pikiran. FGD dilaksanakan di kantor kecamatan, kebetulan Museum Wayang terletak sekomplek dengan kantor kecamatan, jadilah setelah beres FGD kami main ke Museum Wayang. Tapi setelah masuk, miris banget, sepi, dan terlupakan...

  • Ajibarang

Ajibarang merupakan kota dengan jumlah industri genteng yang tinggi. Desa Pancasan adalah desa yang ditetapkan menjadi kawasan industri genteng. Welcome!

Nah ini suasana di pabrik geteng. Ya panas, ya berdebu, ya berasap. Sepanjang jalan pemandangannya begini-begini aja.

Ini jalan masuk ke dalem permukiman loh. Jalannya dipenuhin genteng yang lagi dijemur, jadi kesisa space buat jalan cuma sedikit :<

Ajibarang ga cuma punya industri genteng doang kok, di sini juga ada pemandangan-pemandangan cantik seperti sungai di atas. Indonesia banget yah? Sungai yang berbatu-batu (buat ngegosok baju cucian). Kalo mau mencapai sungai ini, kita harus jalan terus melewati permukiman bercampur industri genteng tadi. Lalu sedikit turun ke bawah dan....ta daaa! Sungainya ada deh :3

My eyes are amazed by this scenic! I love this combination color of nature, blue and green.

Kondisi infrastruktur di Kecamatan Ajibarang
TPA Tiparkidul ini sebenarnya udah overload

Kalo yang ini bukan di Ajibarang atau Banyumas. Kuliner khas Sokaraja ini bernama seperti namanya, Soto Sokaraja. Soto ini saya beli di Jl. Bank, Purwokerto. Katanya sih yang enak di sini, sampe ada foto-foto artis dipajang. Bedanya sama soto biasa adalah, soto ini berbumbu kacang, dikasih kerupuk di dalem sotonya, dan...makannya pake lontong, bukan pake nasi.

*the end*



Demolisi, Perlukah?

Pertama-tama, saya mengucapkan happy new semester for all my readers. Oh iya, sekarang saya sudah menginjak semester 5, bisa dibilang cukup tua juga, sudah punya dua adik tingkat hehe. Nah, semester ini saya mengambil mata kuliah pilihan Sejarah dan Preservasi Kota. Buat adik-adik tingkat saya di PWK FTUB recommended banget loh ini. Selain karena preservasi dan konservasi benda cagar budaya di Indonesia yang masih ga jelas dan perlu kita pelajari dan amalkan (ciyeh), kuliah sejarah yang satu ini ga bikin bosen macem pelajaran Sejarah pas sekolah dulu, tugasnya seruu. Ciyuuuus!

Dan tema hari ini adalah...demolisi!!! Hah apa tuh? Saya juga baru tau kok. Jadi menurut Peraturan Walikota Surabaya No. 59 Tahun 2007, demolisi adalah upaya pembongkaran atau perombakan suatu bangunan cagar budaya yang sudah dianggap rusak dan membahayakan dengan pertimbangan dari aspek keselamatan dan kemanan dengan melalui penelitian terlebih dahulu dengan dokumentasi yang lengkap. Misalnya nih ada bangunan peninggalan kolonial yang rusak berat, beberapa saat lagi pasti ambruk deh, gerakan memperbaiki bangunan itu disebut demolisi.

Sekarang pertanyaannya: perlu atau tidak sih demolisi? Dari kalangan pemerhati benda cagar budaya sendiri terjadi pro dan kontra mengenai hal itu. Saya sendiri termasuk ke dalam golongan yang kontra akan demolisi. Kenapa? Mari kita bahas...

Machu Pichu, sisa reruntuhan Suku Inca, Peru

Colosseum di Roma, Italia, yang bernama asli Flavian Amphitheater

Sisa reruntuhan bangsa Romawi

Gambar-gambar di atas adalah sebagian contoh reruntuhan bersejarah di dunia yang dibiarkan begitu saja bentuknya. Pernah kebayang ga kalo sisa reruntuhan bangsa Romawi itu utuh berbentuk bangunan? Pernah kebayang ga kalo Colosseum ga bolong setengah didingnya? Pernah kebayang ga kalo Machu Pichu didemolisi sehingga berbentuk utuh? Hmm mungkin bagus juga sih tapi di sini saya melihat dari sisi 'heart touching'-nya (istilah apa pula ini, bikin sendiri rrrr). Maksudnya gini, dengan melihat bangunan bersejarah yang sudah runtuh, pasti kita akan lebih tersentuh untuk mengenang sejarah tersebut, bagaimana hebohnya perang saat itu, bagaimana struktur bangunan pada masa itu sudah sedemikian canggih. Selain itu, tidak jarang situs sejarah yang berbentuk reruntuhan seperti di atas justru mengundang khalayak untuk berbondong-bondong melihat. Kalo bicara ekonomi sih, nilai jualnya lebih tinggi, mungkin terlihat artistik ya? Bandingkan dengan bangunan bersejarah yang berbentuk utuh seperti sekarang, pasti kesannya ya hanya another historical site kan? 

Balik lagi ke penegrtian demolisi di atas, satu yang harus digarisbawahi adalah: demolisi dilakukan terhadap bangunan yang memang rusak dan membahayakan. Jadi selama itu tidak membahayakan, ya tidak perlu didemolisi. Demolisi juga merupakan hal yang sangat sulit dan perlu penanganan profesional. Lebih sulit lagi di negara kita, Indonesia, buruh bangunan yang dapat mengerjakan bangunan serumit bangunan bersejarah sulit ditemukan bukan? Salah-salah kualitas struktur bangunan dan tampilan fasad bangunan justru menurun.

Menurut kamus saya, sah-sah saja demolisi, namun disertai sederetan persyaratan:
  • BCB yang perlu diperbaiki hancur atau rusak ketika bukan pada masanya. Misalnya candi x hancur ketika terjadi gempa pada tahun 1900-an, padahal candi dibangun pada masa pra-sejarah. Hal ini berkaitan dengan 'heart touching' tadi. Candi itu hancur bukan karena peristiwa pada masa itu kan, jadi kenapa juga perasaan kita tersentuh ngeliat candi yang hancur karena gempa.
  • BCB yang rusak membahayakan. Misalnya pilar-pilar bangunannya seperti akan jatuh beberapa saat lagi.
  • Demolisi harus melibatkan berbagai ahli profesional, mulai dari arsitek, arkeolog, pemerhati bangunan bersejarah dan benda pusaka, sampai buruh bangunan pun menjadi poin penting.

Nah isu yang lagi panas-panasnya ada di Surabaya. Tau Stasiun Semut di Surabaya? Bagus kalo tau, tapi lebih bagus lagi kalo tau Stasiun Semut adalah cikal bakal perkeretaapian di Indonesia. Jadi ceritanya, stasiun ini dibangun sama VOC untuk pemberhentian kereta yang ngangkut rempah-rempah dari Jawa ke Tanjung Perak yang selanjutnya akan di bawa ke Belanda. Selain untuk barang, stasiun ini juga pernah disinggahi bule-bule necis berjas dan ber-cute dress ria loh. Namun sekarang, liat bentuknya...
Stasiun Semut

Stasiun yang sekarang sudah tidak beratap akan didemolisi alias diperbaiki sehingga berbentuk stasiun secara utuh dan akan difungsikan sebagai stasiun kembali. Hmm, yang saya khawatir adalah penanganan proyek yang tidak profesional seperti yang saya sebutkan di atas... Bagaimana menurut anda? Perlukah demolisi?

All the God's Forgiveness for Travel Receptionist in Surathani 2


Pagi itu, dengan mata yang masih belum sepenuhnya melek, dengan pikiran yang setengahnya masih ada di alam mimpi, kami tiba di agen travel itu. Letaknya di deretan pertokoan, kecil, seperti tempat agen-agen travel pada umumnya. Pintunya terbuat dari kaca, interiornya berkesan modern dan berpendingin ruangan. Kami bertiga pun turun dari mobil. Si bule Jerman menurunkan backpack-nya dengan masih mengomel-ngomel, saya dan Galuh memandangnya dengan maklum. Dia akan menuju ke Penang sedangkan kami menuju ke Kuala Lumpur, jadi ternyata bis kami berbeda dan dia tidak ikut masuk ke dalam.

Setibanya di dalam, kami disambut oleh seorang resepsionis. Ibu-ibu yang kira-kira berusia setengah abad, berbadan gemuk, rambut berombak, dan masih mengenakan pakaian yang berkesan santai–kaos. Awalnya pembicaraan kami masih terkontrol, dan sampai suatu ketika ia mengatakan sesuatu yang mengejutkan dan lambat untuk dapat saya cerna karena masih pagi.

You should pay RM 50 to enter Malaysia.

Hah? Kok? Perasaan saya tidak pernah dengar tentang pembayaran biaya jika melakukan cross border Thailand – Malaysia. Awalnya saya kira pembayaran itu dilakukan di imigrasi nanti semacam visa on arrival, tapi ternyata setelah saya tanya, pembayaran itu dilakukan di situ, di agen travel tersebut. Lah aneh banget, kalo memang itu prosedur negara, kenapa pas saya minta peraturan dalam bentuk tertulisnya dia tidak punya? Dari situlah kami mulai curiga. Dan kecurigaan saya bertambah ketika nominal tersebut dapat ditawar! Dikira dagangan?! Sekali lagi, kalo memang itu prosedur resmi kenapa juga bisa ditawar? Gini deh, mana bisa airport tax penerbangan dalam negeri di Soekarno Hatta yang aslinya Rp40.000 ditawar jadi Rp20.000?

Lama kami berdebat, skak mat pun dijatuhkan olehnya, pay or you won’t go back to KL. Dan yang bikin kesel lagi dia mendesak kami, “hurry up the car is waiting, if you don’t pay they will leave you!” Sebelumnya kami sudah mencoba menelefon Nana dan orangtua kami, tapi telefon tidak diangkat, masih pagi juga. Akhirnya, entah terhipnotis atau bagaimana, kami pun membayar juga uang tersebut, dengan sangat tidak ikhlas. Uang kami kan pas pasan, tega banget pake diambil RM 50. Lumayan itu buat ongkos bis dan makan.

Urusan dengan si resepsionis itu pun berakhir. Kami keluar dan diantar ke mobil travelnya. Sudah penuh, memang sepertinya mereka menunggu kami. Mobil tersebut berisi dua perempuan Thai yang sedang berdandan–mereka bikin kami kesel karena kondisi kami yang baru saja kehilangan uang dengan sia-sia lah dia kok malah asik dandan, perempuan Thai berkerudung–awalnya kami kira dia Melayu tapi ternyata ga bisa bahasa, laki-laki Thai–dialah yang jadi korban omelan kaki tentang resepsionis di agen travel tadi karena dia mengerti sedikit bahasa.

Sepanjang jalan Galuh mengomel dengan bahasa Melayu yang dia spontan ngomong–sumpah yang ini kocak banget. Sampai kami tiba di sebuah restoran untuk sarapan, tidak nafsu makan kami pun tidak makan. Ternyata di sana ketemu bule Jerman tadi, kami pun senang dan langsung curhat ke dia. Sekarang dia sudah tenang dari marah-marahnya tadi pagi dan gantian kami yang mengomel-ngomel. Kami merasa sudah sangat dekat, mungkin karena asal dan tujuan kami sama, dan nasib buruk yang sama. Guess what? Setelah dari restoran, kami dibawa lagi ke sebuah agen travel. Oh Lord, kali ini kami menyesal karena males ke terminal di Bangkok nyari PO bis yang bener, kami menyesal kenapa asal nerima aja dari Nana, kami mana ada liat nama PO bis yang dikasih Nana?

Agen travel di sana terletak di kawasan perdagangan, terlihat seperti kawasan kota lama. Interiornya pun sederhana, mengingatkan saya kepada film-film China zaman dahulu. Jauh dari kesan modern. Nama dan tujuan kami dicatat dan kami pun menunggu. Lama. Duduk sambil melihat orang yang berseliweran kerja di sana. Ada seorang bapak, mungkin pemilik agen travel tersebut. Anak perempuannya yang cantik, mungkin seusia SD, berlari kepadanya dengan membawa buku gambarnya, minta mewarnai bersama mungkin. Ia masih mengenakan seragam sekolah, memang siang itu sekitar pukul 12 siang dan itu waktunya pulang sekolah. Secara tidak sadar saya dan Galuh menonton adegan itu, saking ga ada kerjaannya.

Lalu kami keluar mencari angin, ternyata lagi, ada bule Jerman tadi. Kali ini ia bersama temannya sesama bule, lelaki berusia paruh baya. Dengan antusias dia bertanya mengenai kabar kami. Kami menjawab apa adanya dan ia bercerita mengenai kasus kami kepada temannya tadi.

I don’t think we should pay some ringgit to do cross border. Oh… I know, fifteen ringgit is so much,” ujarnya  dengan prihatin.
Not fifteen, but fifty…” sanggah saya dengan lirih.
Huh? Fifty?!” ia pun terkesiap. Mungkin ditambah ingatannya tadi pagi mengenai backpack-nya, emosinya sedikit tersulut.

Mereka pun menenangkan kami, dan tidak lama kemudian bis pun datang. Ketika kami naik ke dalam bis, pikiran kami sedikit lebih tenang karena kondisi bis yang memuaskan. Kursinya dapat direntangkan hampir jadi 180o sehingga nyaman untuk tidur, pelayanannya pun profesional. Dan yang paling membuat lega adalah…itu merupakan langkah kami untuk ke KL, it means: meninggalkan kota ini!

Sepanjang perjalanan saya tidur. Sesekali membuka mata dan melihat papan reklame di luar jendela. Kembali kecewa karena huruf yang tercetak di papan reklame tersebut masih huruf Thai. Saya ingin cepat sampai di Hat Yai, titik imigrasi, gerbang menuju Malaysia. Saya pun kembali tidur, dan kembali bangun dengan senang ketika tiba di titik imigrasi. Dengan semangat kami turun dari bis dan mengantri, dan lagi-lagi di sebelah antrian kami ada si bule Jerman. Dengan melambai-lambaikan tangan ia berkata, “Wow we meet again! Bye, I’ll go to Penang. Take care in Kuala Lumpur!

Selesai dari pengecekan imigrasi, kami menuju bis. Lega rasanya sudah melihat tulisan berbahasa Melayu lagi, tulisan selamat datang di Malaysia, aah. Bis pun berjalan, melewati jalanan lintas batas negara yang lengang. Hanya dibatasi titik imigrasi tetapi kondisi infrastruktur jalannya jauh berbeda, lebih baik Malaysia. Saya dapati sinyal di simcard Malaysia saya lalu menghubungi orang rumah untuk memberi kabar. Awalnya banyak yang ingin saya ceritakan ke orangtua saya mengenai penipuan pagi buta itu, tapi saya hanya berkata, “baik-baik aja kok Pa, ini udah di dalam bis menuju KL, bisnya bis malam bagus, kursinya lebaaar bisa jadi tempat tidur.” Tidak ingin membuat mereka khawatir dan…mencoba mengikhlaskan kejadian itu.

May God forgive the travel receptionist in Surathani. And for her, please use that money appropriately, maybe to pay your child's school fee or feed your family ;)

All the God’s Forgiveness for Travel Receptionist in Surathani


Awalnya banyak senengnya emang, dari hari pertama kami jalan selalu ditemuin orang-orang baik. Mulai dari bos penjaga loker di USS yang ngegratisin kami yang harusnya kena denda, supir taksi di Bangkok yang rela nanyain alamat ke orang-orang, sampe Tante Nana, pemilik guest house yang ramah banget. Tapi ada juga beberapa scene dari perjalanan kami yang not that lucky, salah satunya yang paling tragis adalah…ditipu, oh no! *drama mode on*

Dikarenakan tiket pesawat Bangkok– Kuala Lumpur mahal, jadilah kami memutuskan untuk pergi ke Kuala Lumpur dengan menggunakan moda transportasi bis lintas negara. Sebenernya kami udah browsing, tapi PO bis yang online cuma ada merk apa gitu lupa, dan itu pun udah full booked. Modal spekulasi ‘pasti ada bis lain yang emang ga ada online booking’, kami pun nekat pergi padahal ga tau bis ke Kuala Lumpur ada atau engga.

Singkat cerita, karena terminal tipe A atau terminal yang melayani bis lintas negara, bus AKAP, dan bus AKDP *apa sihhh* itu letaknya jauh dari guesthouse kami, kami males juga ke sana dan nanya ke Nana untuk bis ke Kuala Lumpur. Ternyata dia ada catetan PO-nya beserta harganya! Alhamdulillah… tapi Nana ga tau perusahaannya apa, hmm oke deh. Toh kami udah tinggal enak, dipesenin via telefon dan dijemput langsung di guest house.

Lanjut cerita, setelah tiba waktu pulang, Sabtu sore kami dengan anteng duduk di depan guest house nungguin dijemput sambil makan masakan Thai yang dijual di warungnya Nana, disambi juga packing barang-barang yang baru aja dibeli di Chatucak tadi siangnya. Tidak lama kemudian, yang jemput pun dateng. Kami udah mikir dijemput langsung naik bisnya, eh taunya abangnya jemput naik Tuk Tuk (kendaraan tradisional Thailand sejenis bemo). Mulai deh mikir, ‘loh kok ga sesuai ekspektasi?’. Sepele juga sih, kami pun tetep ikut tanpa protes, dan diantar menuju ke tempat pemberhentian bis, masih dekat dengan guest house kami, hanya berbatas Sungai Chao Phraya.

Ketika kami turun, banyak bule di sana, lega juga sih, kalo diminatin bule kan berarti bukan abal-abal. Lalu, ternyata ada counter PO bisnya juga, tujuannya banyak, ada ke Phuket, Penang, sampai Kuala Lumpur. Lama menunggu sehingga bosan, saya dan teman saya pun iseng nguping pembicaraan bule di depan kami. Karena bulenya berbahasa Inggris, asik juga kita ngerti bahasa mereka, tapi mereka ga ngerti bahasa kita, bebas deh ngomongin itu bule di depan ha ha ha. Tidak lama kemudian bis pun datang sekitaran maghrib, kami bersama bule-bule lainnya berbondong-bondong masuk ke bus. Berasa aneh juga, sama-samajadi turis bareng bule, biasanya kan kita jadi tuan rumah dan mereka jadi turis di negara kita, atau mereka jadi tuan rumah, kita yang jadi turis di negara mereka.

Busnya tingkat, sempittt parah. Belakang kami duduklah bule yang cerewet, American sepertinya. Dia sebangku sama cowok asal Brazil, mereka pun ngobrol, terdengar cowo latin itu sedikit bosan mendengar si cewek ngoceh kaga berenti-berenti. Saya dan Galuh masih tetep menguping, dan makin semangat ketika si cewe mulai nyebut Indonesia!

“Have you ever traveled to Indonesia?”
“Nope”
“I heard the people is very kind”
“Yeah, are you going there?”
“No”
“Why?”

Gue lupa si cewe jawab apa, tapi intinya dia ga akan mau ke Indonesia karena masalah politik dan agama kalo ga salah. Usut punya usut, dia ternyata real traveler, ga pulang 9 bulan bokkk! Sangarr banget, jadi pas kerja nabung, terus cuti deh keliling dunia hmm. Bispun berjalan meninggalkan Bangkok, kami melambaikan tangan ke jendela sambil bilang, “Bye Bangkok…” eh si cewe bule itu ngikutin!!! Hhhh saya dan Galuh langsung saling melirik, mengerti apa yang masing-masing dari kami pikirkan haha. Malam semakin larut, makin menjauh dari Bangkok, suasana di luar jendela makin tidak menarik, kami pun tertidur.

***

Surpriseee! Keesokan paginya kami diturunkan di sebuah pool travel di Surathani, sebuah kota di selatan Thailand, sudah banyak muslim di sana, bahasanya pun bercampur Melayu karena berbatasan dengan Malaysia. Dengan mata masih setengah merem, saya dan Galuh turun dari bis, dan mendapati seorang cewe bule marah-marah sambil nurunin backpack-nya dari bagasi bis. Dengan muka pongo saya ngeliatin dia, Galuh pergi ke toilet, lalu tiba-tiba ada mas-mas dari travelnya nyuruh saya dan bule itu naik ke suatu mobil.

Kami–saya dan bule tadi–naik ke dalam mobil itu. Saya merasa tidak enak juga berada dalam satu mobil berdua dengan orang yang lagi kesel dan marah begitu. Serba salah, mau nanya kok kepo amat, mau diemin ya kok asa teu peduli teuing. Akhirnya saya pilih diam. Karena diam itu emas. Haha. Dia pun membuka percakapan, dengan muka lurus menatap ke depan.

“I hate it, someone unpack mybag!”
“How did you know?”
“The zipper, bla bla bla…”

Dan dia pun curcol, gue manggut-manggut aja. Toh mau bilang apa coba? Terus kami pun berkenalan, ternyata dia dari Jerman! Aihh. Tidak lama kemudian, Galuh pun datang dan mobil capcus ke… sebuah pool travel lagi. Oh no ini beneran dilempar-lempar banget ga sih!!! Di pool travel ini lah kita ditipu…

To be continued…

Public Space


Sibuk kuliah, lama banget ga nulis, sekalinya nulis ya nulis buat tugas. Supaya blog ini keliatan update dikit, ini ada satu tulisan dari sekian banyak tugas saya yang menumpuk. Mata kuliah Urban Design, tugasnya disuruh cerita tentang public space dan teorinya. Little bit boring but...just enjoy!
***
Public space yang secara harfiah dapat diartikan sebagai ruang untuk umum menurut saya adalah sebuah ruang yang tersedia di tempat umum dan bebas diakses oleh semua kalangan, tidak terkecuali para penyandang cacat, manula, maupun masyarakat berpenghasilan rendah. Ruang yang secara sosial berfungsi sebagai tempat berinteraksi ini memiliki banyak bentuk, baik yang terbuka maupun tertutup. Public space terbuka contohnya alun-alun atau plaza, tempat duduk di pedestrian way, atau taman. Sedangkan public space tertutup contohnya adalah bangunan pusat perbelanjaan. Menurut saya, bentuk public space di setiap negara biasanya dipengaruhi oleh iklim negara tersebut. Penduduk di negara tropis lebih menyukai berada di dalam ruangan yang berpendingin ruangan, sehingga tempat berinteraksi sosial pun lebih banyak berada di dalam ruangan. Sedangkan penduduk di negara empat musim, menyukai sinar matahari, sehingga public space-nya kerap berada di luar ruangan.
Pengalaman saya sendiri untuk berada di public space, cukup beragam, baik yang baik maupun yang buruk, baik public space terbuka maupun tertutup. Misalnya public space yang berupa shared open space di permukiman tempat saya tinggal. Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saya sering bermain dengan tetangga di shared open space yang berupa taman di dekat rumah saya. Taman tersebut termasuk ke dalam bentuk external public space atau public space yang sesungguhnya, di sana tersedia fasilitas penunjang berupa park bench dan ayunan untuk bermain. Ketika saya pindah ke suatu permukiman yang tidak terdapat shared open space, terasa dampaknya. Saya tidak pernah keluar rumah untuk melakukan aktivitas sosial, frekuensi pertemuan dengan tetangga pun menjadi lebih sedikit, kami pun cenderung berubah menjadi individualis.
Selain taman di dalam permukiman, public space lain dapat berupa alun-alun. Sebut saja Plaza de las Tendillas di Córdoba, Westenhellweg di Dortmund, dan Alun-alun Kota Batu. Westenhellweg merupakan suatu public space berupa jalan di pusat Kota Dortmund yang merupakan Einkaufsstraße atau jalan perbelanjaan. Di sana terdapat berbagai macam toko, mulai dari toko pakaian sampai café. Jalan dengan lebar ± 10 m dan berperkerasan paving block dengan pola tertentu di ruas jalannya ini terletak dekat dengan stasiun u-bahn (kereta bawah tanah), sehingga untuk mencapai lokasi ini tidak diperlukan kendaraan pribadi.
Westenhellweg
Kawasan ini bebas dari kendaraan bermotor, ruas jalannya dipenuhi oleh pejalan kaki dan street art performance. Penduduk dengan kursi roda maupun seorang ibu yang mendorong baby stroller pun dapat dengan bebas berjalan di kawasan ini. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa ruang kota yang satu ini tidak melakukan diskriminasi terhadap penduduknya, semua dapat mengakses tempat ini. Ada hal sederhana yang mendukung fungsi public space di sini, yaitu keberadaan kursi di pinggir jalan atau depan toko. Dengan adanya kursi, pejalan kaki pun tidak akan sekedar lewat, tetapi juga ‘singgah’ untuk sementara sehingga fungsi sosial pun ada. Selain itu, street art performance juga menambah daya tarik ruas jalan ini, jadi Westenhellweg dapat disebut juga sebagai sociocultural public realm. Namun sayangnya, di negara maju ini masih terdapat pengemis, ia dan anjingnya duduk di sebuah sudut, berharap pejalan kaki yang lewat mengasihaninya—dan anjingnya.

Ngayogyakarta

Assalamualaikum.
Minggu lalu saya baru saja menuntaskan survei studio kedua saya. Jika studio pertama adalah Studio Perencanaan Desa, studio di semester 4 ini adalah Studio Perencanaan Kota atau biasa disingkat dengan SPK. SPK tahun ini diadakan di Kota Yogyakarta, dan kelompok saya mendapat wilayah studi di Kecamatan Jetis. Hari-hari di Jogja bisa dibilang banyak lupa waktunya, survei cuma sampai sore, tapi malamnya kita tidak istirahat malah main keliling Jogja. Alhasil, terciptalah foto-foto di bawah ini... Enjoy!

Gambar sebelah kiri merupakan landmark Kota Yogyakarta, yaitu Tugu Jetis. Tugu ini merupakan kebanggaan kelompok kami, karena tugu tersebut berada di wilayah studi kami hahaha. Foto itu diambil pada hari Selasa ketika demo tentang kenaikan BBM sedang memuncak. Herannya, pendemo di foto ini masih saja sempat berfoto-foto ria dengan temannya *tepok jidat*. Sedangkan gambar di sebelah kanan merupakan patung akar kaki yang terletak di depan Gedung BRI.

Malam di Jogja. Pedestrian, lampu penerangan jalan, public space, dan elemen-elemen pendukung lainnya yang berkonspirasi membentuk suasana seperti yang terlihat di gambar ini.

Gedung BNI yang berarsitektur kolonial dipadukan dengan kecepatan yang tergambarkan dengan lampu yang bergerak.

Very the Jogja! Mulai dari becak, bangunan kolonial, pedestrian way yang lebar, dan juga papan nama jalannya. Menurut saya, kota yang bikin kangen dan bikin pengen balik lagi adalah kota yang memiliki sense of place yang kuat seperti ini <3

Monumen Serangan Umum Maret 1949

Vredeburg Schloss. Benteng ini dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda (sumpah kalimat yang satu ini ngasal, ngikutin gaya-gaya cerita sejarah -_-), CMIIW. Fungsinya yang sekarang adalah museum, dan yang saya baru ketahui ternyata di sini juga ada night at the museum. Mungkin semacam night tour, atau malah uji nyali?

Suasana malam di dalam Vredeburg Schloss, mencekam hah?

Gelang kulit dan manik-manik khas Jogja. Hati-hati dalam menawar, salah-salah anda bisa dicaci maki oleh pedagangnya. Seperti teman saya, sampai kita berjalan jauh dari tempat tersebut pun pedagangnya masih mengomel-ngomel. Mungkin harga yang teman saya minta terlalu murah, atau pedagangnya aja yang rada-rada? -_-

Malioboro yang tidak pernah mati. Jika siang hari koridor ini dipenuhsesaki oleh para pedagang kaki lima yang menjajakan pernak-pernik dan souvenir, malam harinya aktivitas tersebut berubah menjadi angkringan. Dari makanan berat sampai kopi ada di sini.

Delman di Malioboro pada malam hari. Sebenarnya kasihan juga kudanya, pada kurus, bekerja seharian, makanannya pun belum terjamin :(

Di kota ini banyak terdapat papan penunjuk seperti ini, yang menandakan adanya jalur alternatif yang dapat dilalui sepeda. Biasanya jalur alternatif ini merupakan jalan pintas kecil dengan hirarki jalan lingkungan. Jadi pesepeda tidak perlu melewati jalan berhirarki tinggi dan bergabung dengan kendaraan bermotor.

List survei hari itu ;) 

Sungai Code yang berada di Kecamatan Jetis, tepatnya di Kelurahan Gowongan RW 08 - RW 13. Terdapat permukiman kumuh di sepanjang sungai ini, tinggi bangunannya pun tidak memenuhi standar. Bayangkan, rumah bertingkat dua di sini tingginya tidak melebihi tinggi normal rumah berlantai satu! Namun begitu, di kawasan ini telah terdapat rusunawa (rumah susun sederhana sewa). Pemberdayaan masyarakatnya pun berjalan baik, bahkan di RW 10 ada seorang ahli peta yang menggambarkan persil di sepanjang Sungai Code secara manual di milimeter block.

Kandang burung ini terdapat di belakang rusunawa. Mungkin ini fasilitas pendukung permukiman yah... sebut saja 'kandang burung komunal'... Karena penduduk yang tinggal di rusunawa tidak memiliki space untuk menaruh kandang ini di area rusun. Iyalah, jemuran aja bingung, gimana kandang burung -_-

Nah, ini dia penghuni kandang warna-warni di atas. Cantik?

Ayam kate yang lari mulu pas diambil fotonya hihi gemesss! :3

Ini yang namanya sate buntel bukan sih? Sekotak kayu ini dipikul, penjualnya perempuan dan kotak ini ditaruh di atas kepalanya. Mirip perempuan Afrika pembawa air.

Oseng-oseng mercon. Sambelnya..... meledak-ledak dalam mulut *overrated*. Kebetulan saya makan di tempat yang pernah masuk tv di acaranya Pak Bondan, jadi untuk ukuran kaki lima, seporsi oseng-oseng mercon ini termasuk mahal yaitu Rp15.000,00.

Zulfa dan oseng-oseng mercon, haha ga penting -_-

Selain oseng-oseng mercon, di sini juga tersedia berbagai lauk lainnya seperti ayam, bebek, burung dara, dan lain-lain. Seporsi bebek harganya Rp23.000,00 dan tidak lebih istimewa dari bebek ijo yang cabangnya di mana-mana itu.

Ini mbak yang jualan oseng-oseng mercon, dia itu... asli kocak. Pas saya datang dia langsung bilang, "Mbak dari mana? Main ke Jogja masa ga nyoba oseng-oseng mercon. Ini pernah masuk di tv loh Mbak, di acaranya Pak Bondan Prakoso!" Mendengar itu saya tertawa, "wkwkwk Bondan Prakoso mah penyanyi kali Mbak... Pak Bondan yang itu namanya Bondan Winarno -_________-"

Seperti layar rusak

Taken at Alun-Alun Kota Yogyakarta

Coco, Bagas, dan temennya Bagas. Kesukaannya Bagas nongkrong di tempat yang ada live music-nya, jadilah malam terakhir di Jogja kita main ke Kopitiam di Jl. Sastrowijayan. Setelah semalam sebelumnya kita main ke Skybar, semacam cafe di rooftop-nya Hotel All Season yang juga ber-live music.

See you next studio, Studio Perencanaan Transportasi. Mungkin Bandung, atau ada usul lain? ;>