All the God's Forgiveness for Travel Receptionist in Surathani 2


Pagi itu, dengan mata yang masih belum sepenuhnya melek, dengan pikiran yang setengahnya masih ada di alam mimpi, kami tiba di agen travel itu. Letaknya di deretan pertokoan, kecil, seperti tempat agen-agen travel pada umumnya. Pintunya terbuat dari kaca, interiornya berkesan modern dan berpendingin ruangan. Kami bertiga pun turun dari mobil. Si bule Jerman menurunkan backpack-nya dengan masih mengomel-ngomel, saya dan Galuh memandangnya dengan maklum. Dia akan menuju ke Penang sedangkan kami menuju ke Kuala Lumpur, jadi ternyata bis kami berbeda dan dia tidak ikut masuk ke dalam.

Setibanya di dalam, kami disambut oleh seorang resepsionis. Ibu-ibu yang kira-kira berusia setengah abad, berbadan gemuk, rambut berombak, dan masih mengenakan pakaian yang berkesan santai–kaos. Awalnya pembicaraan kami masih terkontrol, dan sampai suatu ketika ia mengatakan sesuatu yang mengejutkan dan lambat untuk dapat saya cerna karena masih pagi.

You should pay RM 50 to enter Malaysia.

Hah? Kok? Perasaan saya tidak pernah dengar tentang pembayaran biaya jika melakukan cross border Thailand – Malaysia. Awalnya saya kira pembayaran itu dilakukan di imigrasi nanti semacam visa on arrival, tapi ternyata setelah saya tanya, pembayaran itu dilakukan di situ, di agen travel tersebut. Lah aneh banget, kalo memang itu prosedur negara, kenapa pas saya minta peraturan dalam bentuk tertulisnya dia tidak punya? Dari situlah kami mulai curiga. Dan kecurigaan saya bertambah ketika nominal tersebut dapat ditawar! Dikira dagangan?! Sekali lagi, kalo memang itu prosedur resmi kenapa juga bisa ditawar? Gini deh, mana bisa airport tax penerbangan dalam negeri di Soekarno Hatta yang aslinya Rp40.000 ditawar jadi Rp20.000?

Lama kami berdebat, skak mat pun dijatuhkan olehnya, pay or you won’t go back to KL. Dan yang bikin kesel lagi dia mendesak kami, “hurry up the car is waiting, if you don’t pay they will leave you!” Sebelumnya kami sudah mencoba menelefon Nana dan orangtua kami, tapi telefon tidak diangkat, masih pagi juga. Akhirnya, entah terhipnotis atau bagaimana, kami pun membayar juga uang tersebut, dengan sangat tidak ikhlas. Uang kami kan pas pasan, tega banget pake diambil RM 50. Lumayan itu buat ongkos bis dan makan.

Urusan dengan si resepsionis itu pun berakhir. Kami keluar dan diantar ke mobil travelnya. Sudah penuh, memang sepertinya mereka menunggu kami. Mobil tersebut berisi dua perempuan Thai yang sedang berdandan–mereka bikin kami kesel karena kondisi kami yang baru saja kehilangan uang dengan sia-sia lah dia kok malah asik dandan, perempuan Thai berkerudung–awalnya kami kira dia Melayu tapi ternyata ga bisa bahasa, laki-laki Thai–dialah yang jadi korban omelan kaki tentang resepsionis di agen travel tadi karena dia mengerti sedikit bahasa.

Sepanjang jalan Galuh mengomel dengan bahasa Melayu yang dia spontan ngomong–sumpah yang ini kocak banget. Sampai kami tiba di sebuah restoran untuk sarapan, tidak nafsu makan kami pun tidak makan. Ternyata di sana ketemu bule Jerman tadi, kami pun senang dan langsung curhat ke dia. Sekarang dia sudah tenang dari marah-marahnya tadi pagi dan gantian kami yang mengomel-ngomel. Kami merasa sudah sangat dekat, mungkin karena asal dan tujuan kami sama, dan nasib buruk yang sama. Guess what? Setelah dari restoran, kami dibawa lagi ke sebuah agen travel. Oh Lord, kali ini kami menyesal karena males ke terminal di Bangkok nyari PO bis yang bener, kami menyesal kenapa asal nerima aja dari Nana, kami mana ada liat nama PO bis yang dikasih Nana?

Agen travel di sana terletak di kawasan perdagangan, terlihat seperti kawasan kota lama. Interiornya pun sederhana, mengingatkan saya kepada film-film China zaman dahulu. Jauh dari kesan modern. Nama dan tujuan kami dicatat dan kami pun menunggu. Lama. Duduk sambil melihat orang yang berseliweran kerja di sana. Ada seorang bapak, mungkin pemilik agen travel tersebut. Anak perempuannya yang cantik, mungkin seusia SD, berlari kepadanya dengan membawa buku gambarnya, minta mewarnai bersama mungkin. Ia masih mengenakan seragam sekolah, memang siang itu sekitar pukul 12 siang dan itu waktunya pulang sekolah. Secara tidak sadar saya dan Galuh menonton adegan itu, saking ga ada kerjaannya.

Lalu kami keluar mencari angin, ternyata lagi, ada bule Jerman tadi. Kali ini ia bersama temannya sesama bule, lelaki berusia paruh baya. Dengan antusias dia bertanya mengenai kabar kami. Kami menjawab apa adanya dan ia bercerita mengenai kasus kami kepada temannya tadi.

I don’t think we should pay some ringgit to do cross border. Oh… I know, fifteen ringgit is so much,” ujarnya  dengan prihatin.
Not fifteen, but fifty…” sanggah saya dengan lirih.
Huh? Fifty?!” ia pun terkesiap. Mungkin ditambah ingatannya tadi pagi mengenai backpack-nya, emosinya sedikit tersulut.

Mereka pun menenangkan kami, dan tidak lama kemudian bis pun datang. Ketika kami naik ke dalam bis, pikiran kami sedikit lebih tenang karena kondisi bis yang memuaskan. Kursinya dapat direntangkan hampir jadi 180o sehingga nyaman untuk tidur, pelayanannya pun profesional. Dan yang paling membuat lega adalah…itu merupakan langkah kami untuk ke KL, it means: meninggalkan kota ini!

Sepanjang perjalanan saya tidur. Sesekali membuka mata dan melihat papan reklame di luar jendela. Kembali kecewa karena huruf yang tercetak di papan reklame tersebut masih huruf Thai. Saya ingin cepat sampai di Hat Yai, titik imigrasi, gerbang menuju Malaysia. Saya pun kembali tidur, dan kembali bangun dengan senang ketika tiba di titik imigrasi. Dengan semangat kami turun dari bis dan mengantri, dan lagi-lagi di sebelah antrian kami ada si bule Jerman. Dengan melambai-lambaikan tangan ia berkata, “Wow we meet again! Bye, I’ll go to Penang. Take care in Kuala Lumpur!

Selesai dari pengecekan imigrasi, kami menuju bis. Lega rasanya sudah melihat tulisan berbahasa Melayu lagi, tulisan selamat datang di Malaysia, aah. Bis pun berjalan, melewati jalanan lintas batas negara yang lengang. Hanya dibatasi titik imigrasi tetapi kondisi infrastruktur jalannya jauh berbeda, lebih baik Malaysia. Saya dapati sinyal di simcard Malaysia saya lalu menghubungi orang rumah untuk memberi kabar. Awalnya banyak yang ingin saya ceritakan ke orangtua saya mengenai penipuan pagi buta itu, tapi saya hanya berkata, “baik-baik aja kok Pa, ini udah di dalam bis menuju KL, bisnya bis malam bagus, kursinya lebaaar bisa jadi tempat tidur.” Tidak ingin membuat mereka khawatir dan…mencoba mengikhlaskan kejadian itu.

May God forgive the travel receptionist in Surathani. And for her, please use that money appropriately, maybe to pay your child's school fee or feed your family ;)

All the God’s Forgiveness for Travel Receptionist in Surathani


Awalnya banyak senengnya emang, dari hari pertama kami jalan selalu ditemuin orang-orang baik. Mulai dari bos penjaga loker di USS yang ngegratisin kami yang harusnya kena denda, supir taksi di Bangkok yang rela nanyain alamat ke orang-orang, sampe Tante Nana, pemilik guest house yang ramah banget. Tapi ada juga beberapa scene dari perjalanan kami yang not that lucky, salah satunya yang paling tragis adalah…ditipu, oh no! *drama mode on*

Dikarenakan tiket pesawat Bangkok– Kuala Lumpur mahal, jadilah kami memutuskan untuk pergi ke Kuala Lumpur dengan menggunakan moda transportasi bis lintas negara. Sebenernya kami udah browsing, tapi PO bis yang online cuma ada merk apa gitu lupa, dan itu pun udah full booked. Modal spekulasi ‘pasti ada bis lain yang emang ga ada online booking’, kami pun nekat pergi padahal ga tau bis ke Kuala Lumpur ada atau engga.

Singkat cerita, karena terminal tipe A atau terminal yang melayani bis lintas negara, bus AKAP, dan bus AKDP *apa sihhh* itu letaknya jauh dari guesthouse kami, kami males juga ke sana dan nanya ke Nana untuk bis ke Kuala Lumpur. Ternyata dia ada catetan PO-nya beserta harganya! Alhamdulillah… tapi Nana ga tau perusahaannya apa, hmm oke deh. Toh kami udah tinggal enak, dipesenin via telefon dan dijemput langsung di guest house.

Lanjut cerita, setelah tiba waktu pulang, Sabtu sore kami dengan anteng duduk di depan guest house nungguin dijemput sambil makan masakan Thai yang dijual di warungnya Nana, disambi juga packing barang-barang yang baru aja dibeli di Chatucak tadi siangnya. Tidak lama kemudian, yang jemput pun dateng. Kami udah mikir dijemput langsung naik bisnya, eh taunya abangnya jemput naik Tuk Tuk (kendaraan tradisional Thailand sejenis bemo). Mulai deh mikir, ‘loh kok ga sesuai ekspektasi?’. Sepele juga sih, kami pun tetep ikut tanpa protes, dan diantar menuju ke tempat pemberhentian bis, masih dekat dengan guest house kami, hanya berbatas Sungai Chao Phraya.

Ketika kami turun, banyak bule di sana, lega juga sih, kalo diminatin bule kan berarti bukan abal-abal. Lalu, ternyata ada counter PO bisnya juga, tujuannya banyak, ada ke Phuket, Penang, sampai Kuala Lumpur. Lama menunggu sehingga bosan, saya dan teman saya pun iseng nguping pembicaraan bule di depan kami. Karena bulenya berbahasa Inggris, asik juga kita ngerti bahasa mereka, tapi mereka ga ngerti bahasa kita, bebas deh ngomongin itu bule di depan ha ha ha. Tidak lama kemudian bis pun datang sekitaran maghrib, kami bersama bule-bule lainnya berbondong-bondong masuk ke bus. Berasa aneh juga, sama-samajadi turis bareng bule, biasanya kan kita jadi tuan rumah dan mereka jadi turis di negara kita, atau mereka jadi tuan rumah, kita yang jadi turis di negara mereka.

Busnya tingkat, sempittt parah. Belakang kami duduklah bule yang cerewet, American sepertinya. Dia sebangku sama cowok asal Brazil, mereka pun ngobrol, terdengar cowo latin itu sedikit bosan mendengar si cewek ngoceh kaga berenti-berenti. Saya dan Galuh masih tetep menguping, dan makin semangat ketika si cewe mulai nyebut Indonesia!

“Have you ever traveled to Indonesia?”
“Nope”
“I heard the people is very kind”
“Yeah, are you going there?”
“No”
“Why?”

Gue lupa si cewe jawab apa, tapi intinya dia ga akan mau ke Indonesia karena masalah politik dan agama kalo ga salah. Usut punya usut, dia ternyata real traveler, ga pulang 9 bulan bokkk! Sangarr banget, jadi pas kerja nabung, terus cuti deh keliling dunia hmm. Bispun berjalan meninggalkan Bangkok, kami melambaikan tangan ke jendela sambil bilang, “Bye Bangkok…” eh si cewe bule itu ngikutin!!! Hhhh saya dan Galuh langsung saling melirik, mengerti apa yang masing-masing dari kami pikirkan haha. Malam semakin larut, makin menjauh dari Bangkok, suasana di luar jendela makin tidak menarik, kami pun tertidur.

***

Surpriseee! Keesokan paginya kami diturunkan di sebuah pool travel di Surathani, sebuah kota di selatan Thailand, sudah banyak muslim di sana, bahasanya pun bercampur Melayu karena berbatasan dengan Malaysia. Dengan mata masih setengah merem, saya dan Galuh turun dari bis, dan mendapati seorang cewe bule marah-marah sambil nurunin backpack-nya dari bagasi bis. Dengan muka pongo saya ngeliatin dia, Galuh pergi ke toilet, lalu tiba-tiba ada mas-mas dari travelnya nyuruh saya dan bule itu naik ke suatu mobil.

Kami–saya dan bule tadi–naik ke dalam mobil itu. Saya merasa tidak enak juga berada dalam satu mobil berdua dengan orang yang lagi kesel dan marah begitu. Serba salah, mau nanya kok kepo amat, mau diemin ya kok asa teu peduli teuing. Akhirnya saya pilih diam. Karena diam itu emas. Haha. Dia pun membuka percakapan, dengan muka lurus menatap ke depan.

“I hate it, someone unpack mybag!”
“How did you know?”
“The zipper, bla bla bla…”

Dan dia pun curcol, gue manggut-manggut aja. Toh mau bilang apa coba? Terus kami pun berkenalan, ternyata dia dari Jerman! Aihh. Tidak lama kemudian, Galuh pun datang dan mobil capcus ke… sebuah pool travel lagi. Oh no ini beneran dilempar-lempar banget ga sih!!! Di pool travel ini lah kita ditipu…

To be continued…