We're Still On Our Way

Kuliah adalah saat penentuan jalur masa depan. Saat di mana kita semua akan berada di jalannya masing-masing. Dokter, insinyur, sampai seniman.

Saat itu pula, saya, mahasiswi S1 yang sedang menekuni bidang Perencanaan Wilayah dan Kota, banyak mendapat protes maupun keluhan dari orang di sekitar saya. Dari mulai setiap melihat acara di tv yang menceritakan kesemerawutan lalu lintas ibukota, di jalan ketika ada pembangunan yang mengganggu sirkulasi, juga di dalam KRL Jabodetabek yang baru saja mengubah namanya menjadi commuter line, saya selalu 'kena'.

"Aya ini kan bidang lo."
"Ini kereta gimana sih?!"
"Tata kota Indonesia semrawut banget yah..."

Itu semua seakan-akan ditunjukan ke saya. I mean, halo saya masih S1... Jujur saya pengen juga bikin kota seideal mungkin. If I can, then I will. Just FYI, ngebangun kota tuh ngga semudah hancurin keadaan semrawut yang udah ada, dan ngebangun lagi dari nol. Banyak pertimbangan, mulai dari sisi ekonomi, sosial, budaya setempat, sampai lingkungan. Mensinkronkan semua hal itu juga susah, it's complicated.

Permisalannya ya kayak kalian yang calon dokter, masih semester 3 gini udah dikeluhin orang sakit organ dalam, gimana? Pasti pada mikir, "gue juga masih belajar kali belom nyampe ilmunya untuk nyembuhin penyakit gitu..."

Kok setelah dibaca-baca postingan ini jadi kayak postingan ngedumel yah? Hahaha. Tenang, bukan kok, cuma pengen ngasih tau aja. Intinya, saya tau kok, kita semua, mahasiswa, pasti ingin dapat menyembuhkan orang sakit bagi yang calon dokter, ingin menemukan mobil ramah lingkungan bagi yang calon ahli mesin, atau ingin menghilangkan kemacetan bagi yang calon urban planner. We're still on our way....

Kuliah adalah saat penentuan jalur masa depan. Saat di mana kita semua akan berada di jalannya masing-masing. Dokter, insinyur, sampai seniman. Walaupun berbeda-beda, kita semua punya satu tujuan: membangun bangsa ini ;)

Desa Bukan Kampung 2


Namanya desa, suasananya pasti asri, jauh dari hingar bingar kota. Desa yang kita bayangkan pasti lekat dengan kesan tradisional, di mana rumah penduduknya sangat sederhana dan jauh dari kata teknologi. Bahkan ketika kecil saya pernah membayangkan bagaimana bisa anak-anak yang tinggal di sekitar sawah menemukan McDonald di sana? Okay I know that's awkward -_- Nah, bagaimana dengan Schillingfürst? Yap, sekarang saya akan menggambarkan keadaan standar rumah di sana.

Kenyataannya, mau sepelosok apapun seperti rumah tante saya, rumahnya tetap...hi tech. Salut banget deh. Keliatannya rumah di sini kondisinya sudah sama rata di desa-kota. Malah lebih enak di desa, kesempatan memiliki rumah tunggalrumah yang berdiri sendiri dikelilingi, tidak bertempelan dengan tetanggalebih besar. Lain halnya dengan di kota yang land availability-nya rendah dan housing price-nya tinggi, kebanyakan penduduknya lebih memilih untuk tinggal di flat.

Oven, microwave, bread toaster, mixer, blender, dan peralatan canggih lainnya pasti ada. Bahkan oven merupakan home appliance wajib mereka, mungkin karena hobi mereka untuk santap kue. Berbagai macam pisau lengkap, mulai dari pisau roti sampai pisau daging yang segede gaban. Fyi, pisau Solingen, jenis pisau yang bagus itu memang asalnya dari negara ini. Rata-rata rumah di sini menggunakan kayu atau lantai berlapis karpet sebagai dasar rumahnya. Maka dari itu vacuum cleaner menggantikan peranan sapu di sini.

Full of electricity, full of technology. Begitulah Jerman, negara yang menurut saya paling strict di dunia. Mau desa, mau kota metropolitan, all are covered with that 22 century's stuffs. Ya, semuanya karena harga tenaga di sini mahal, bahkan mencuci piring pun ada mesinnya. Beda dengan kita yang berlimpahan kuantitas SDM-nya (note that: quantity, not quality). Tapi misalnya ada semua alat-alat itu juga, mau dibawa ke mana 'mbak-mbak' kita? Mau kerja apa porter-porter yang suka ngangkat barang? Galau kan? Sama, saya juga.

Tapi intinya, mengunjungi rumah-rumah saudara saya di sana membuat saya terkagum-kagum. Gaya hidup mereka, the real kämpf. Mandiri. Satu kata itu, mulai dari anak kecil sampai lansia benar-benar berdiri sendiri. Maybe it's their habitual, maybe it's because...engineering. Someday we will make it for Indonesia. Long live engineering!




Desa Bukan Kampung 1


Di matkul permukiman kota, desa sama kampung itu beda.
Beda banget. Desa letaknya jauh dari pusat kota, di fringe area-nya gitu, kalau kampung letaknya di tengah kota, yang kumuh-kumuh itu loh. Jadi salah juga yah kalo disebutnya ‘pulang kampung’, harusnya ‘pulang desa’.

Nah kali ini saya benar-benar merasakan desa. Desa bener-bener desa, yang pemandangannya semua sawah…sawah jagung sih. Banyak ternak di kanan-kiri, masih banyak rusa nyebrang jalan, penduduknya cuma 7000. Bayangin, di Indonesia mah 7000 penduduk kotanya cuma segede universitas kali… satu fakultas aja udah 1000 orang, mungkin masih besaran universitas dari desa itu.

Desa itu adalah desa Schillingfürst. Gue sendiri juga ga tau sih itu secara administratif kota apa bukan, tapi gue ga liat ada Rathaus atau Marktplatz di situ—yang merupakan ciri sebuah kota di Jerman. Tapi yang pasti, kota terdekatnya sih Würsburg yang tempatnya penemu Röntgen itu loch n_n

Lanjut. Kalau kalian bingung desa di sini kayak gimana tampilannya, pernah nonton Mr Bean’s Holiday kan? Nah di situ ada desa tuh, yang ijo-ijo di mana-mana. Jalan sepi, ga ada mobil, sepanjang jalan ladang jagung sama gandum, banyak kuda makan rumput. Supaya musiknya pas sama trek jalannya, sepanjang jalan di mobilnya Om Konrad saya pasang lagu Half Of My Heart-nya John Mayer ft. Taylor Swift, kan country gitu haha.

Lagi di desa-desa begini saya jadi inget film-film tentang summer deh. Ceritanya orang bule kan biasanya tentang liburan summer holiday ke desa, terus di desa ketemu sama cowo, tapi cintanya terputus as summer ends… Mau tau filmnya apa aja? Hannah Montana The Movie, Sisterhood & The Traveling Pants 2, The Notebook, Dear John, video klip-nya Taylor Swift yang Tim Mc Graw.

Pengalaman Tidak Mengenakkan di Czech

Kemarin saya baru saja menggunjungi negara tetangganya Jerman, Ceko. Dari awal sih udah dibilangin sama Tante Nana kalau Ceko ga serapih Jerman, masih ada slum (permukiman kumuh) di sana. Benar ternyata, di benua yang terkenal sudah modern dan industrinya maju ini masih aja ada slum area. Bukan cuma itu, Praha, ibukota Ceko ini juga macet di mana-mana, sudut-sudut kotanya juga sering tercium bau-bau yang... yah begitu lah. Jika dilihat dari segi arsitektur sih, memang bagus. At least kalau dibandingin sama Jakarta, mereka masih punya pedestrian way (jalur pejalan kaki) yang lebaaaar banget dan tentunya applicable, Jakarta kan pedestrian way-nya kalo ga jadi tempat amang-amang kaki lima ya cuma jadi penghias kota yang ga terpakai. Tapi tetap saja kalau saya disuruh tinggal di sana, saya pasti akan bilang: tidak!

Lanjut, mengapa judul postingannya pengalaman tidak mengenakkan? Jadi ceritanya, ketika di toilet yang bayar sekitar 25 cent, saya wudhu, otomatis kan buka kaos kaki. Nah ada ibu-ibu penjaga toilet yang jutek tiba-tiba nyamperin sambil muka yang malesin banget pokoknya. Dia tuh marah-marah pake bahasa Ceko dan saya dengan muka planga-plongo ga ngerti apa-apa gitu. Dia nyebut-nyebut polisi segala lah karena melanggar peraturan. Wastafel kan cuma untuk cuci tangan, kalau wudhu kan sampai kaki, jadi harusnya kita pakai ruangan untuk mandi yang bayarnya lebih mahal. Sampai ngusir-ngusir segala dia, yaa mungkin dia pikir saya ambil kesempatan untuk 'mandi' di tempat yang bukan untuk mandi padahal kan cuma wudhu.

Hahaha benar-benar hospitality warganya kurang banget. Padahal kan itu di stasiun di ibukota, otomatis bayak turis masuk dari situ kan? Bisa-bisa pariwisata Ceko turun gara-gara tuh orang lagi. Jangan sampe yah... Oh iya, postingan ini bukannya untuk menjelek-jelekkan Ceko yah... Murni, cuma pengen berbagi pengalaman aja ;)